Sabtu, 22 Juni 2013 di 02.22 Diposting oleh Karasumori Kun 0 Comments

sebelumnya thanks buat kulonread yang udah translate~

 

Prolog
Benar-benar cerita yang rumit—
“Hey hey hey! Kau ada di dalam, Seiji-san? Aku mampir lagi, nih! Aw, lagi-lagi kau tidak sengaja mengunci pintumu? Aku jadi tak bisa masuk, nih!”
Perhatian, perhatian.
Stalker memasuki rumahku, dan memukul-mukul pintu rumah sejak tadi. Dia bahkan tidak membunyikan bel? Apa sih yang dipikirkannya?
“Pintunya terkunci! Kau tidak tidur, kan? Kyaa! Ini pertama kalinya aku datang ke rumah cowok yang sedang tidur!”
Peringatan, peringatan, peringatan untukku sejak minggu lalu. Aku yang tidak sengaja menyelamatkan pendatang baru dari dua orang jahat. Baru saja aku tahu bahwa mereka satu sekolah denganku, mulai besok, semuanya sudah jadi begini. Tapi anak yang satu itu kelihatannya jelas tipe anak yang sopan.
“Kau tahu…Sebenarnya…Aku selalu menyukai Seiji-san! Kau ingat? Saat ujian masuk, aku duduk di sampingmu! Karena anak yang duduk di sebelahku punya nama yang aneh seperti Ryuugamine[1], Aku ingin lihat nama orang yang duduk di sebelah kiriku, dan hanya dengan sekali lihat, itu adalah cinta pandangan pertama! Dan sejak hari itu, aku selalu, selalu mengingat namamu! Meskipun aku tidak cukup berani untuk menyatakannya padamu…kau menyelamatkanku, dan lalu aku pikir…. ‘Aaahhh, ini pasti adalah takdir!’ kejadian itu membuatku jadi percaya diri. Jadi, itulah sebabnya, biarkan aku menemuimu, Seiji-san!  Aku ingin mengisi batere dengan melihatmu, Seiji-san! Kumohon, boleh ya?”
Peringatan, peringatan.
Setelah menyelamatkannya, anak ini diam-diam mengikutiku pulang, dan setelah itu hampir setiap hari dia datang. Dia tidak mau dengar meski sudah kusuruh pulang. Dan segala macam hal yang dia teriakkan barusan? Aku sudah mendengarnya sampai dua ribuan kali sebelumnya.
“Jangan-jangan kau sedang sakit? Kau sakit, makanya kau tidak menjawab? Oh tidak! Cepat buka pintunya! Sejak ujian masuk, aku menyelidiki tentangmu, Seiji-san! Aku tahu semua tentangmu seperti tanggal lahir dan keluargamu!”
Polisi, polisi.
‘Aku akan memanggil polisi.’
Baru setelah aku mengatakan hal itu, untuk sehari dia tidak datang.
Tiga jam setelah serangan. Sepertinya anak itu sudah pulang, aku memutuskan pergi ke swalayan satu blok dari apartemen untuk membeli sesuatu. Sambil membawa pasta gigi dan koran, bayangan tentang cewek-denpa[2] itu terlintas di benakku.
Kesan pertamaku tentang dia adalah anak itu cantik, kelihatan sudah mengalami banyak hal di dunia—atau mungkin frase ‘lady yang cantik’ lebih akurat. Tapi kenapa gadis semacam itu bisa tidak punya pacar?—jawabannya mungkin adalah apa yang kualami hari ini.
Tak peduli betapa manisnya cewek-denpa itu, aku tetap akan menolaknya dengan sopan. Jika aku diharuskan punya pacar, masalahnya jadi beda—tapi diriku sendiri sedang tidak tertarik. Karena aku ‘sudah punya pacar’.
Tapi gimana dengan upacara penerimaan besok?
Aku memasuki lantai tempatku tinggal, iseng memikirkan pertanyaan itu sambil berjalan menyusuri koridor yang sempit.
Jika aku harus melihat gadis itu setiap kali pergi ke sekolah, lebih baik tidak usah sekolah saja sekalian. Ah…benar, lagipula aku sudah punya pacar. Dia, begitu kalem dan cantik, jauh lebih baik daripada anak itu. Selama aku bersamanya, bukan masalah meski aku tidak masuk sekolah. Aku tinggal bekerja di kantor kakak, tinggal kelas juga bukan masalah.
Aah, aku ingat sekarang. Akhirnya aku ingat kenapa aku menyelamatkan anak itu dulu. Meskipun kalau kusebutkan sekarang, terasa bias, tapi aku menyelamatkannya karena dia mirip dengan pacarku. Kalau kupikir lagi sekarang, sepertinya aku sudah melakukan hal yang idiot. Aku lari menyelamatkan seseorang cuma karena mereka mirip, padahal kepribadiannya  jauh berbeda.
Sambil mempertimbangkan hal itu, aku memasukkan anak kunci ke dalam lubang kunci di pintu rumah.
Eh? Aneh.
—Pintunya terbuka.
Bahaya, bahaya, bahaya— tanda bahaya menyergap ke seluruh tubuhku.
Sirene meraung—aku membuka pintu dan menemukan sepasang sepatu wanita.
“Se-Seiji… san…”
Aku memasuki kamarku, menemukan cewek stalker itu berdiri di sana, terpaku di tempatnya.
Aku menyadari bahwa secara abnormal aku terlalu tenang meski menghadapi seorang gadis yang nekat menguntit sampai ke kamarku. Karena pada saat yang sama aku sedang mengawasi reaksinya.
Lalu aku berkata dengan dingin, begitu dinginnya sampai aku sendiri terkejut.
“Kau melihatnya?”
“Anu…emm…aku…kau tahu..”
Ekspresi wajahnya berbeda dari biasa, dipenuhi dengan ketegangan dan ketakutan.
…apaan? Jadi ternyata dia bisa juga berekspresi seperti itu.
Pada saat itu juga, aku jadi yakin. Yakin—bahwa gadis ini pastilah sudah melihat apa yang tidak seharusnya ia lihat.
“Umm…um, Seiji-san…aku…ya, aku tidak akan memberitahu siapapun! Meski begitu, aku masih suka Seiji-san! Anu…jadi…itu…tidak usah cemas! Apapun yang kau lakukan, aku oke kok. Jadi…ah, um…kau tahu…”
Keadaan sudah berbalik. Sepertinya ini giliranku membuatnya tidak bisa melawan.
“Nggak apa.”
“Seiji-san!”
Mendengar jawabanku, harapan mewarnai suara stalker cewek itu.
“Nggak apa-apa.”
“Seiji… san?”
Sepertinya dia menyadari tatapan dingin di mataku. Dalam sekejap, kegelisahan menutupi harapannya sekali lagi.
Aku ingin mengubah ekspresinya menjadi lebih putus asa, jadi aku mengulang sekali lagi:
Nggak apa-apa.
_______________________________________________
“Seiji!”
Waktu kakak pulang dengan membawa dua orang bawahan, aku hanya makan cup mie di ruang duduk. Dengan gesit, dua bawahan itu memasukkan si cewek stalker ke dalam tas kantong besar dan membawanya keluar. Kakak memperhatikan sekeliling ruangan, melihat ke dinding yang dipenuhi bercak darah, dan memelukku dengan erat.
“Nggak apa-apa. Bukan masalah.”
Meskipun hawa tubuh kakak memberiku kehangatan, aku merasa tidak nyaman dipeluk begini saat sedang makan.
“Seiji, kau tidak perlu khawatir, kakak akan mengurus semuanya, kau mengerti?”
“Nee-san, bukan cewek itu yang kucemaskan, tapi ‘dia’.”
“Jadi memang Seiji yang membawanya keluar … nggak masalah, biar kakak yang mengurus semuanya. Nggak apa-apa, selama kakak di sini, kakak pasti akan menjaga Seiji…bahkan dari para polisi sialan itu, aku tidak akan pernah membiarkan mereka membawamu pergi, tidak akan pernah, jadi kau tidak perlu mencemaskan apapun.”
Setelah itu, kakak memberikan perintah pada bawahannya lalu pergi.
Mungkin lebih baik aku tidak usah bekerja di kantor kakak. Karena kakak sepertinya menyembunyikan sesuatu, diam-diam bekerja dengan segala macam orang. Seperti bawahan yang dibawa kakak—mereka jelas-jelas sedang melihat mayat, tapi mereka tetap melakukan apa yang diperintahkan tanpa komplain sedikitpun; jelas-jelas ini janggal.
Aku tidak mau kerja dengan orang-orang jahat ini, bisa-bisa mungkin aku yang akan jadi jahat?
Kalau aku jadi orang jahat dan ditangkap polisi, dia pasti akan kesepian. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
Sambil memperhatikan bawahan kakak yang dengan tanpa ekspresi menggosok noda darah di dinding, pelan-pelan aku menyeruput mie instanku.
Eh, mi ini menjijikkan.
Ini adalah cerita yang benar-benar rumit.
Cerita cinta yang rumit.

0 Responses so far.

Posting Komentar